Berlabuhnya Kapal Dongson di Selatan Sumatera
Lampung Selatan, Provinsi Lampung
Oleh Nurdiyansah Dalidjo
Menara Siger menyambut kedatangan siapa pun yang baru saja tiba di gerbang selatan Pulau Sumatera. Bangunan tersebut berfungsi sebagai gedung serba guna atau ruang promosi seni-budaya sekaligus titik pandang bagi turis yang didirikan sebagai ikon pariwisata Provinsi Lampung. Dari sinilah pemandangan selat yang memisahkan Sumatera dan Jawa tampak begitu memanjakan mata. Pulau-pulau kecil dan hilir mudik kapal-kapal bagai mengambang di antara langit dan laut dengan gradasi biru yang terlihat serupa.
Siger merupakan mahkota yang dikenakan oleh perempuan adat dan bangsawan di masa lalu sebagai simbol keagungan dan kebesaran terhadap feminitas pada sosok perempuan. Mahkota itu juga mengingatkan kita pada tanduk kerbau — hewan yang pada banyak tradisi dianggap sakral sebagai persembahan ritual dan karena peran pentingnya dalam proses pertanian. Siger terlihat megah dan dulu terbuat dari emas. Kini, siger masih sering digunakan oleh mempelai perempuan pada pesta atau upacara perkawinan. Bentuk siger juga menghiasi banyak gapura kampung atau gerbang rumah maupun perkantoran di Lampung.
Tetapi, melihat lebih jeli pada siger dan mengaitkannya dengan kekhasan budaya maritim masyarakat di Lampung Selatan, penghias kepala perempuan itu punya kemiripan pada hal lain, yaitu kapal. Siger dan kapal menjadi sesuatu yang tak dapat dipisahkan. Keduanya mungkin saling memberikan inspirasi. Maka, siapa pun yang hendak menyelami peradaban di kawasan pesisir yang dihiasi dengan gunung-gunung dan perbukitan di Lampung, dapat memulainya dengan menelusuri tradisi kain kapal.
Penamaan “kain kapal” umum dikenal masyarakat secara luas di dalam dan luar Lampung, bahkan hingga mancanegara. Hal itu disebabkan karena kain tersebut memiliki motif yang sangat menonjol pada bentuk kapal kuno yang sisi kiri-kanannya simetris dan dipenuhi ragam hias geometris. Kain kapal merupakan sebuah semesta kecil (mikrokosmos) bagi masyarakat Lampung, khususnya bagian pesisir di Kalianda, Lampung Selatan.
Ada makna yang dalam pada sehelai kain kapal. Ia serupa “tree of life” atau “gunungan” dalam tradisi daratan Jawa. Namun, tak seperti tradisi kain kebanyakan, kain kapal lebih dominan pada fungsi sebagai kain dekoratif. Meski pula, ada aplikasi motif tertentu yang dimodifikasi sebagai sarung yang dipakai oleh perempuan atau kemudian mempengaruhi corak pada kain tapis.
Kain kapal dapat merujuk pada dua tipe utama kain tenun di Lampung Selatan, yaitu, palepai atau sesat balak atau tatibin dan tampan. Keduanya memiliki material, proses pembuatan, dan corak yang hampir sama dengan kapal sebagai keutamaan. Perbedaannya terletak pada ukuran dan penyesuaian motif. Palepai memiliki ukuran persegi panjang hingga lebih dari tiga meter (lebar tak sampai satu meter), sementara tampan berbentuk persegi sama sisi dengan ukuran lebih kecil. Palepai dibentangkan pada saat digunakan dan tampan berfungsi sebagai alas atau tutup (nampan) persembahan, seperti sirih-pinang. Keduanya dikeluarkan dan digunakan pada berbagai upacara. Pada setiap tahapan siklus kehidupan, mulai dari kelahiran, kedewasaan, hingga kematian, kain kapal menjadi simbol terhadap proses transisi seseorang. Contohnya, pada upacara khitan anak lelaki, palepai menjadi dekorasi dinding (backdrop) sakral bagi tempat si anak duduk setelah diarak dan dibawa ke rumah neneknya, sedangkan tampan menjadi alas makan dan seserahannya. Pada upacara perkawinan, palepai dengan motif dua buah kapal yang bertemu jadi satu adalah lambang menyatunya dua keluarga atau dua marga (konsolidasi), sedangkan untuk seserahan digunakan tampan. Kain kapal juga menunjukkan kedudukan seseorang atau keluarga. Kain menjadi pengikat serta penegasan kehormatan, perdamaian, dan kekuatan.
Motif kain kapal dapat dibagi ke dalam tiga bagian yang masing-masing merepresentasikan tiga dunia: Dunia Bawah (bagian bawah kapal dihiasi dengan motif fauna laut, seperti ikan udang, gurita, dan cumi-cumi); Dunia Tengah (bagian kapal sebagai tempat manusia hidup dan hewan-hewan darat, seperti sosok leluhur dengan manusia berkepala wajik serta kerbau, kuda, harimau, dan gajah); dan Dunia Atas (bagian atas kapal dihiasi burung). Pembagian konsep tersebut mirip dengan pembagian fase spiritualitas manusia menurut Buddhisme yang diwujudkan pada level Candi Borobudur yang terdiri dari Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu. Pada bagian tengah kain kapal pada motif kapal, biasanya terdapat sebuah rumah atau bentuk belah ketupat (diamond shape) atau medali atau bentuk seperti rangka pohon (lengkap dengan akar, badan, dan kepala pohon) sebagai titik sentral kehidupan.
Hal menarik lain dari motif kain kapal adalah jejak-jejak Dongson. Dongson merupakan sebuah kebudayaan peradaban sekitar abad ke-8 hingga ke-1 SM. Sebagian orang menyamakannya dengan Era Perunggu (Bronze Age) yang diprediksi berkembang di Tongking (kini Vietnam). Dari sanalah pada awalnya berbagai perlengkapan perunggu bermunculan, termasuk nekara perunggu dengan berbagai motif sakral yang fungsinya masih diteliti hingga kini. Sejumlah pihak percaya bahwa nekara merupakan alat yang dipakai untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Lainnya meyakini bahwa nekara Dongson tertentu menyimpan rahasia astronomi kuno atau berfungsi sebagai pemanggil hujan yang dihubungkan dengan pengetahuan ilmu pertanian. Maka, bisa jadi kain kapal menjadi kepingan penting yang melengkapi perbincangan tentang peristiwa migrasi masyarakat di awal abad Masehi dengan kapal-kapal Dongson yang berlayar dan tersebar di berbagai penjuru. Mereka-lah yang kerap disebut sebagai para leluhur Nusantara. Pengaruh Dongson di Lampung Selatan direkam pada bentuk yang identik pada temuan wujud kapal Dongson dan motif kapal pada palepai maupun tampan. Begitu pun dengan corak hias yang mengiringi bentuk serupa Bahtera Nuh tersebut.
Kain kapal memiliki proses pembuatan yang sangat rumit dan kompleks. Untuk mendapatkan motif yang begitu semarak, penenun membutuhkan ketelitian dan kemampuan matematik yang tak sederhana untuk menghitung helaian-helaian tipis benang yang ditambahkan pada saat menenun dasar kain: teknik pakan tambahan (supplementary weft weave). Motif dibuat dengan benang pakan berwarna yang ditambahkan melintang secara horizontal, sehingga memberikan efek mengambang pada corak yang timbul.
Kain kapal dibuat dari benang kapas pintal tangan. Dahulu, kebun-kebun kapas tersebar di berbagai kampung dan kemungkinan besar ditanam dan dirawat secara kolektif oleh kelompok perempuan di wilayah kelolanya di masing-masing komunitas. Warna merah dan biru terang menjadi yang paling umum. Ada pula kain kapal yang berwarna hijau, kuning, oranye, dan cokelat pastel. Seluruhnya berasal dari proses pewarnaan alam yang difermentasi dan direkatkan dengan material tambahannya, seperti lilin lebah, akar serai wangi, daun sirih, pinang, asam jawa, dan lain-lain. Selain benang kapas, kain kapal juga mengaplikasikan benang sutera dan emas atau perak yang menegaskan asimilasi dan efek perdagangan maritim antar-bangsa yang dilakukan di masa lalu, terutama Tiongkok.
Sayangnya, tradisi pembuatan kain kapal dapat dikatakan punah di akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Letusan dahsyat Gunung Krakatau terjadi di tahun 1883. Hampir seluruh desa dilanda gempa dan tsunami hebat setinggi 40 meter. Bencana itu diduga mengakibatkan lebih dari 35 ribu orang meninggal dan meluluhlantakan kawasan Lampung Selatan yang berhadapan langsung dengan Krakatau.
Setelahnya, Lampung Selatan memasuki masa-masa sulit yang diperburuk dengan era kolonialisme Belanda dan Jepang. Belanda memulai mega proyek pembangunan jalan dan perkebunan-perkebunan berskala besar dengan kerja paksa dan perbudakan, terutama di Jawa dan Sumatera, termasuk terhadap lelaki dan perempuan Lampung. Lampung Selatan tak luput dari pandangan Pemerintah Hindia Belanda yang menjadikannya gerbang penghubung kedua pulau utama tersebut. Memasuki periode kolonialisme Jepang, tentara Nipon pun mendesak penduduk untuk membuat tekstil bagi kepentingan mereka. Pemberontakan dan perang terjadi di mana-mana dan menjadi prioritas bagi masyarakat setempat untuk mengusir penjajah dan memperoleh kemerdekaan. Dan pengetahuan maupun keterampilan membuat kain kapal berangsur-angsur sirnah. Begitu pun penggunaannya yang tak lagi relevan di masa-masa sulit di mana kondisi alam serta struktur masyarakat juga ikut berubah drastis.
Kini, kain kapal sendiri menjadi koleksi paling prestisius dari banyak galeri, museum, dan kolektor kain di seluruh dunia. Ia menjadi benda berharga yang paling dicari. Jumlahnya diperkirakan hanya sekitar seribu helai.
Tak ada lagi penenun yang mampu membuat kain kapal, baik itu masyarakat adat Paminggir di Kalianda, Kota Agung, maupun kawasan pesisir lainnya. Hilangnya kain kapal tentu saja ikut mereduksi peran dan kepemimpinan perempuan dalam beragam ritual di komunitas. Secara tidak langsung, hal itu juga mempengaruhi seperti apa kedudukan dan fungsi perempuan dilihat di saat ini dan nanti. Apakah siger masih dilihat sebagai penegasan pada keagungan femininitas atau malah menjadi simbol yang diglorifikasi sebagai ikon industri pariwisata belaka?
Meski begitu, aplikasi motif pada kain kapal masih lekat pada identitas masyarakat di Lampung melalui berbagai ornamen kesenian dan juga batik bercorak kain kapal yang menjadi pakaian semi-formal sehari-hari atau sekadar sovenir wisatawan.
***
Referensi:
Artikel ini ditulis ulang secara populer dari kajian kain yang pernah dibuat penulis dan telah dipublikasikan pada Jurnal Wastra edisi 22, Agustus 2013.